Selasa, 30 Mei 2017

Momentum Bom Kampung Melayu

Presiden Jokowi dan Wapres JK Meninjau Lokasi Bom Kampung Melayu (sumber: Pasukan Lokagandasasmita)


Bom sederhana berkekuatan kecil yang mengakibatkan gugurnya tiga orang Polisi dan dua orang pelaku bom bunuh diri serta belasan lainnya luka-luka (baca: kompas) mengundang sejumlah spekulasi baik yang berdasarkan pada fakta-fakta temuan, teori, maupun analisa intelijen. Salah satu peringatan penting yang perlu kita perhatikan adalah sebagaimana disampaikan Kepala BIN Budi Gunawan: Jangan Biarkan Indonesia seperti Irak dan Suriah. Analisa yang menyimpulkan bahwa bom Kampung Melayu adalah bagian dari strategi ISIS masih terlalu prematur, walaupun berdasarkan fakta pelaku bom bunuh diri Ahmad Sukri dan Ichwan Nurul Salam alias Iwan Cibangkong yang terdeteksi merupakan bagian dari Kelompok JAD (Jamaah Ansarud Daulah) Wilayah Bandung. JAD sejak ramai dinyatakan terbentuk pada tahun 2015 merupakan entitas pendukung berdirinya Daulah Islamiyah di Indonesia, yang dalam berbagai kabar JAD menyatakan atau dinyatakan sebagai pendukung ISIS di Irak dan Suriah.

Meskipun Komunitas Blog I-I telah lama mengikuti perkembangan isu-isu terkait ISIS di Indonesia, namun tidak akan gegabah dalam mengambil kesimpulan karena dapat semakin membingungkan masyarakat Indonesia. Hal itu juga akan menciptakan "ketakutan" di satu sisi dan "kebencian" di sisi lain yang semakin memperdalam rasa saling curiga antar kelompok masyarakat di Indonesia. Tidak semua kelompok yang mendukung Daulah Islamiyah dan Syariat Islam setuju dengan cara-cara kekerasan model terorisme, sehingga perlu dipilah perbedaan yang tajam dalam metode "perjuangan" para pendukung negara Islam tersebut. Pemerintah harus fokus dalam mendeteksi seluruh kelompok yang jelas-jelas menempuh jalan kekerasan dengan terorisme dan mengatasinyas secara efektif tanpa memicu atau mendorong kelompok yang lebih damai menjadi terjerumus ke dalam jalan kekerasan terorisme. Hal ini sungguh tidak mudah, terlebih dengan perkembangan politik nasional yang telah dirusak oleh isu SARA kasus Ahok dan menurunnya kepercayaan sebagian umat Islam Indonesia kepada Presiden Jokowi.

Bicara tentang momentum adalah bicara tentang waktu terkait konteks dan perisitiwa serta perkiraan ke depan. Bom Kampung Melayu dapat menjadi momentum introspeksi penanganan radikalisme dan terorisme termasuk dengan revisi UU Terorisme yang diharapkan lebih efektif dalam menangani ancaman terorisme. Bom Kampung Melayu juga dapat menjadi momentum peningkatan kapasitas operasi intelijen dan penegakkan hukum yang lebih baik. Bom Kampung Melayu juga dapat menjadi momentum renungan seluruh bangsa Indonesia tentang realita ancaman teror yang digerakkan oleh keyakinan dan ideologi yang menyimpang dengan mengatasnamakan agama.

Bom bunuh diri adalah sebuah realita yang pasti terjadi manakala kelompok yang lemah memiliki keyakinan yang sangat tinggi terhadap ideologinya. Realita tersebut terkait dengan cita-cita yang bersifat doktrin yang terpatri ke dalam lubuk terdalam para pelaku teror. Indoktrinasi perbuatan bunuh diri dalam rangka membunuh orang lain yang dianggap musuh sebagai jihad bukan saja menyimpang dan sesat, melainkan juga merendahkan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh Islam.

Apabila Blog I-I menghendaki Indonesia menjadi Negara Islam, maka tidak akan pernah ada konsep bom bunuh diri dalam perjuangan menegakkan Negara Islam karena hal itu sesat dan menyesatkan serta membuat pelakunya berdosa dan dijamin masuk neraka.

Beberapa dasar agama yang mengharamkan bom bunuh misalnya: QS An Nisa 4:29 (....Dan janganlah kamu membunuh dirimu...), Hadist Bukhari 5442 dan Muslim 109 (Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sepotong besi, maka dia akan menikam dirinya dengan besi itu di neraka). Hal itu sangat berbeda dengan kasus mati syahid dalam peperangan klasik seperti menerjang lawan dengan gagah berani, dimana hal itu sering secara sesat disamakan dengan aksi bom bunuh diri. Perbedaan yang nyata adalah bahwa ketika kita berkuda menerjang lawan dengan senjata adalah menghadapi musuh yang juga siap menerjang dengan senjata, artinya masing-masing pihak secara sadar tahu bahwa akan terjadi peristiwa membunuh atau dibunuh. Keberanian dalam berperang sangat berbeda dengan karakter pengecut bom bunuh diri yang mengintai orang-orang yang lemah dan lebih sedihnya lagi adalah bahwa korbannya adalah mereka masyarakat biasa (bukan prajurit/tentara) serta tidak sedang berperang dan bahkan dalam keadaan damai.

Bom bunuh diri bukan saja sangat memalukan karena karakter dasar sikap pengecut dan curang, melainkan juga menodai konsep dasar jihad qital (perang) yang menjunjung tinggi kehormatan diri sendiri maupun lawan. Bahkan dalam berperang sekalipun Islam mengajarkan bahwa janganlah seorang Muslim membunuh musuhnya karena nafsu diri sendiri atau karena kemarahan atau karena kebencian terhadap sesama manusia. Pembunuhan yang terjadi dalam peperangan adalah karena kezaliman musuh dan karena musuh Islam memerangi umat Islam atau karena kerusakan-kerusakan yang dilakukan musuh Islam. Selain itu yang lebih penting lagi adalah karena semata-mata demi Allah SWT. Apakah seorang yang melakukan bom bunuh diri dapat dikatakan melakukannya demi Allah SWT? "...Bila Allah SWT menghendaki, tentunya manusia hanya satu umat saja..." (QS Al Maidah 5:48). "Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?"
(QS Yunus 10:99). Apapun alasannya, bom bunuh diri bukan ajaran Islam dan jelas menodai nilai-nilai luhur agama Islam.

Kembali kepada momentum Bom Kampung Melayu, perlu kita bertanya kepada diri kita sendiri: Apa sebenarnya yang menyebabkan masih adanya mereka yang menempuh jalan kekerasan terorisme? Jawabannya sebenarnya sangat terang benderang dan ada di depan mata kita semua. Ingat pada pada dasarnya aksi terorisme ada 2:
  1. Dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan besar biasanya dilakukan teror kemanusiaan yang besar pula dengan aksi operasi intelijen dan militer. Jenis terorisme ini adalah apa yang disebut disponsori oleh negara dan biasanya ditutup-tutupi dengan berbagai modus operandi serta sangat jarang berupa bom bunuh diri. Kuncinya adalah pada kekuatan mengerahkan berbagai sumber daya negara dengan skill tinggi untuk menghabisi lawan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
  2. Dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan kecil yang tersebar biasanya dilakukan oleh kelompok separatis dan kelompok-kelompok yang ingin menumbangkan suatu pemerintahan atau sebagai proxy untuk menekan pemerintahan yang dianggap sebagai musuh. 
Bom Kampung Melayu dan aksi teror bom-bom sebelumnya di Indonesia adalah seluruhnya berada pada model kedua, yakni dilakukan oleh kelompok kecil yang militan yang terus-menerus melakukan rekrutmen pengantin bomber untuk melakukan aksi-aksi jahatnya.

Hampir di seluruh kasus bom bunuh diri, mayoritas pelakunya adalah mereka yang memiliki latar belakang bermasalah, kriminal, kurang cerdas serta mudah ditipu. Hal itu juga dipengaruhi oleh cara pandang terhadap dunia dan kehidupan serta realita hidup yang dijalani para pelaku bom bunuh diri tersebut. Benar bahwa Islam menganjurkan untuk lebih memperhatikan akhirat daripada dunia, namu jangan lupa bahwa Islam mempersyaratkan keseimbangan dalam artian bahwa kehidupan di dunia adalah cerminan apa yang akan diperoleh akhirat. Artinya kesesatan di dunia akan secara otomatis diperhitungkan bahkan oleh kita sendiri dengan buku catatan kita di akhirat nanti. Bila kita telah membunuh diri kita sendiri dan orang lain tidak secara adil atau dapat dibenarkan secara syariah agama, maka hal itu akan tercatat dalam buku amalan kita dan tidak dapat diperbaiki lagi dengan taubat karena kita telah mati dan selesai perjalanannya di dunia ini. Padahal sangat jelas dalam Al Quran dan Hadist bahwa perbuatan bunuh diri dan membunuh tanpa alasan dan dasar yang kuat dan dapat dibenarkan adalah perbuatan dosa besar. Lalu mengapa masih ada saudara-saudara kita yang tersesat melakukan perbuatan bom bunuh diri?

Setelah Blog I-I mengamat-amati dinamika sosial dan kehidupan generasi-generasi muda Indonesia jawabannya adalah terletak pada kualitas manusia, potensi jahat, dan kegelisahan serta kebingungan akan kehidupan yang begitu besar. Salah satu indikator kualitas dan potensi-potensi jahat manusia Indonesia untuk menjadi teroris tercermin pada tingkat kriminalitas generasi muda pelajar yang berupa tawuran, perkelahian, pembunuhan serta berbagai perilaku menyimpang lainnya. Hal itu bukan sekedar mencari identitas diri atau gagah-gagahan belaka melainkan sebuah penyakit yang pada level berikutnya dapat dengan mudah menjadi faktor pendorong kejahatan yang lebih besar berupa terorisme. Membunuh sesama pelajar dalam aksi tawuran dengan alasan demi membela teman atau nama sekolah jauh lebih rendah daripada alasan membela agama atau ulama. Pengaruh doktrinasi peer group di sekolah-sekolah yang gemar tawuran jauh lebih longgar dibandingkan doktrin kelompok radikal kekerasan yang menghalalkan aksi teror.

Lalu bagaimana dengan para pemuda yang tidak pernah tawuran, adakah jaminan mereka dapat menghindar dari pengaruh radikalisasi agama? Para pelaku teror yang memiliki riwayat kejahatan biasanya memadukan kompleksitas psikologis antara masih adanya sifat jahat dan keinginan bertaubat dan jalan pintas penebusan dosanya. Penebusan dengan kematian demi agama adalah pilihan logis yang mudah bagi seorang mantan penjahat atau narapidana, sehingga aksi bom bunuh tampak di mata dan hati mereka sebagai pilihan logis yang dapat diterima lahir bathin tanpa keraguan. Sementara bagi mereka yang tidak memiliki riwayat kejahatan di masa lalu, pada umumnya memiliki karakter tidak kritis, pendiam, ragu-ragu, serta kaku atau cenderung berkacamata kuda. Meskipun diatara mereka ada yang cerdas dan ada juga yang bodoh secara intelektual, namun ada kesamaan karakter yang di luar tampak biasa saja namun sesungguhnya hatinya bergejolak. Gejolak di hati kelompok kedua ini lebih kepada eksistensi diri yang relatif kurang di tengah-tengah kehidupan sosial sehingga mereka cenderung mencari-cari jalan yang beda. Ketika ada tawaran melakukan aksi bom bunuh diri, maka hal itu menjadi pilihan logis suatu pencapaian prestasi yang sulit tertandingi dengan membayangkan mati syahid (level tertinggi) dalam perjalanan hidupnya. Perhatikan bagaimana reaksi anggota keluarga mereka yang berlatarbelakang kriminal yang cenderung tidak merasa heran, dan reaksi anggota keluarga mereka yang tidak memiliki latar belakang kriminal yang kaget dan heran bukan kepalang penuh rasa tidak percaya.

Kapabilitas dan alasan seseorang untuk melakukan aksi bom bunuh diri memang unik dan tidak dapat dipastikan kecuali oleh klarifikasi pelaku seandainya sang pelaku gagal membunuh dirinya sendiri dalam aksi bom bunuh dirinya. Namun analisa dan generalisasi yang disampaikan disini setidaknya dapat memberikan sedikit alternatif pemahaman sehingga kita dapat meningkatkan kewaspadaan kepada anggota keluarga masing-masing.

Setelah memahami analisa di atas, kita juga perlu membedah dinamika sosial politik dan ekonomi nasional Indonesia secara umum.  Pada dasarnya bagi Blog I-I, aksi teror mengatasnamakan agama di Indonesia adalah TIDAK TERHINDARKAN dan masih aka terus berlanjut. Mengapa kata tidak terhindarkan dicetak huruf kapital dan ditebalkan? Hal ini untuk membuka mata kita semua bahwa ketika pra kondisi dan seluruh persyaratan terpenuhi, maka suatu peristiwa pasti akan terjadi. Sebagai contoh sederhana misalnya tidak akan terjadi kebakaran apabila tidak ada api, bahan bakar dan oksigen. Ketika persyaratan terjadinya kebakaran terseut adalah mutlak sehingga dengan hilangnya satu elemen maka tidak mungkin terjadi kebakaran. Sementara pra kondisinya adalah proses bertemunya persyaratan tadi. Apakah secara tidak sengaja seperti percikan api dari korslet arus pendek yang kebetulan terjadi di ruangan yang banyak terdapat bahan-bahan mudah terbakar ataukah secara sengaja ada yang menyiramkan bahan bakar dan melemparkan bara api. Sementara oksigen adalah elemen umum yang selalu ada dimana-mana yang sesungguhnya bersifat netral.

Oksigen adalah kita semua anggota masyarakat, bahan bakar adalah ideologi radikalisme kekerasan, dan api adalah pengetahuan teknik-teknik terorisme, modal (uang), dan akses kepada senjata dan bahan bom (kapabilitas melakukan aksi teror). Mengapa kita sebagai masyarakat dianggap sebagai oksigen dan juga menjadi elemen yang turut menyulut terjadinya aksi teror. Dinamika sosial masyarakat seringkali disadari atau tidak turut serta berkontribusi melahirkan teroris-teroris. Misalnya pada masyarakat yang sangat ketat pengawasannya, muncul perlawanan karena ingin kebebasan dan teror-pun dapat menjadi pilihan aksi perlawanan yang efektif. Sebaliknya pada masyarakat yang liberal, terjadinya marjinalisasi dan ketidakpedulian satu dengan yang lain dalam kompetisi bebas juga dapat melahirkan kelompok radikal yang merasa tersingkir yang memimpikan masyarakat yang tidak liberal. Artinya di dalam masyarakat apapun, akan selalu ada saja potensi dan bibit-bibit radikal yang semata-mata berlawanan dengan tatanan masyarakat yang ada. Itulah sebabnya kita sebagai masyarakat adalah oksigen yang netral, dimana pada kondisi tertentu juga menjadi faktor penyebab terjadinya aksi teror.

Kita semua lengah dan bersalah apabila ada anggota keluarga kita menjadi pelaku bom bunuh diri. Aksi bunuh diri yang jelas-jelas dilarang dalam agama Islam mengapa justru dinyatakan untuk membela Islam, hal itu jelas-jelas sesat dan menyesatkan dan bahkan pelakunya dijamin masuk neraka dan bukan surga sebagaimana dijanjikan kepada mereka yang mati syahid. Kelengahan tersebut terletak pada lemahnya pengetahuan agama Islam dari umat Islam sendiri sehingga dapat tertipu daya oleh ucapan-ucapan atau ajakan-ajakan jihad yang keliru. Mati syahid adalah mulia, namun bagaimana mungkin kesyahidan seseorang dapat terjadi bila prosesnya tidak mulia dan jauh dari persyaratan kemuliaan itu sendiri. Sekali lagi bandingkan keberanian seseorang yang berjihad dalam peperangan dengan kepengecutan seseorang yang meledakkan dirinya di tengah-tengah masyarakat yang tidak berperang. Sesuatu yang mulia pasti tersusun dari berbagai persyaratan mencapai kemuliaan itu, dimulai dari niat yang benar dan lurus serta alasan yang benar secara syar'i agama maupun norma moral universal, kemudian berlangsung di jalan yang benar yakni peperangan yang jelas menghadapi musuh-musuh Islam yang memerangi umat Islam, sasaran adalah mereka yang berperang (combatant) bukan masyarakat sipil biasa apalagi wanita dan anak-anak yang lemah,  serta dilakukan sewajarnya dan tidak berlebihan. Aksi bom bunuh diri jelas melanggar seluruh persyaratan mati syahid sehingga sedih rasanya apabila seseorang tertipu oleh ajakan aksi bom bunuh diri apalagi dijamin masuk surga. Marilah kita berdo'a agar masyarakat Indonesia terhindar dari tipu adaya ajakan terorisme yang sesat dan menyesatkan tersebut.

Deradikalisasi adalah proses yang rumit dan tidak ada jaminan untuk sukses karena "penyakit" keyakinan yang menyimpang (sesat) adalah bagaikan mencabut stabilitas psikologis dan emosi seseorang yang telah mapan dalam ketersesatannya. Hal ini "ma'af" adalah hampir sama dengan proses pemurtadan seseorang dari keyakinannya. Apakah mungkin? Ya sangat mungkin untuk dilakukan, bukankah sedikit ataupun banyak diantara para penganut agama yang berbeda telah terjadi proses saling memurtadkan keyakinan individu-individu para penganut agama. Misi dakwah apapun pada dasarnya adalah menanamkan keyakinan kepada para pengikutnya tentang suatu ajaran. Nah ketika seseorang atau sekelompok orang telah tertanamkan keyakinan radikalisme kekerasan dan terorisme, maka dakwah terhadap mereka adalah mengupayakan bagaimana mereka murtad atau keluar dari keyakinan radikalisme kekerasan dan terorisme. Contoh pemurtadan ini lebih sederhana dari pada penjelasan panjang lebar tentang bagaimana menyadarkan para teroris untuk kembali ke jalan yang lurus. Ketika jaringan Blog masuk ke dalam kelompok Jemaah Islamiyah dan berbagai pecahan dan afiliasinya, terkumpul banyak catatan penting yang perlu kita perhatikan. Misalnya tentang dominasi pengetahuan agama para ulama yang dikenal radikal terhadap pengikutnya, dimana secara satu arah para pengikutnya hanya mendengar dan patuh tanpa berdaya bertanya secara kritis tentang bagaimana sang ulama memberikan penafsiran yang berbeda dengan ulama yang tidak radikal. Ibaratnya para pengikut tersebut benar-benar hanya domba-domba yang dengan mudah digiring ke sana kemari termasuk untuk menjadi pengantin aksi bom bunuh diri.

Deradikalisasi ini merupakan upaya menghilangkan elemen bahan bakar ideologi kekerasan dan terorisme. Sesungguhnya deradikalisasi hanya menargetkan mereka yang sudah radikal, sementara upaya melindungi masyarakat dari pengaruh ideologi radikal adalah konter radikalisasi berupa pencegahan dan perlindungan masyarakat dari ajaran-ajaran sesat dan menyesatkan seperti penghalalan aksi terorisme. Apakah hal ini dapat sukses? Blog I-I dapat memastikan bahwa keberhasilan deradikalisasi dan konter radikalisasi tidak dapat diukur secara pasti. Satu tahun tanpa aksi teror tidak menjamin hilangnya aksi teror di tahun berikutnya. Hal ini sama dengan masih adanya aksi jahat para pelaku tindak kriminal yang selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Pencuri, pembegal, pembunuh, pemerkosa selalu berkeliaran di sekeliling kita. Mereka selalu mengintai kelengahan dan mencari kesempatan. Apapun alasanya, perbuatan kriminal adalah penyimpangan perilaku manusia yang akan menggiringnya kepada kehancuran. Perbuatan kriminal tersebut umumnya tergerak oleh motivasi pribadi baik karena kebutuhan, hawa nafsu, kemarahan, kebencian, gila, dan berbagai alasan lainnya. Sementara dalam aksi teror bunuh diri, motivasinya dibungkus oleh ajaran-ajaran radikal yang tampak rasional dan agamis. Misalnya pandangan-pandangan bahwa di negara Thogut Kafir boleh membunuh, merampok karena belum tegaknya hukum syari'ah Islam. Padahal Islam tidak hanya bicara soal lahiriah dan formalitas hukum, melainkan juga bicara soal hakikat. Dalam kaitan ini, membunuh di luar peperangan dan hukum qisas apapun alasannya tidak dapat diterima dalam syari'ah Islam dan hakikatnya merupakan perbuatan dosa yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Karena dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia proses radikalisasi terus berjalan, maka proses deradikalisasi dan konter radikalisasi juga jangan pernah berhenti. Manusia cenderung lupa dan merasa aman manakala tidak terjadi insiden serangan bom, namun kemudian sangat reaktif manakala terjadi aksi teror bom betapapun kecilnya. Seharusnya kita menyikapi ancaman terorisme tersebut sama sebagaimana kita menyikapi bahwa kejahatan akan terus ada sepanjang masa. Besar kecilnya ancaman terorisme sangat tergantung kepada bagaimana pemerintah berhasil memaksimalkan upaya menghilangkan salah satu unsur pembentuk aksi teror. Baiklah, mungkin upaya deradikalisasi dan konter radikalisasi dianggap tidak efektif karena sebagaimana ideologi-ideologi lainnya seperti komunisme tetap ada penganut dan pengagumnya dari masa ke masa. Namun upaya deradikalisasi dan konter radikalisasi tidak boleh berhenti hanya karena fakta bahwa orang-orang radikal juga mati satu tetap tumbuh beberapa yang lainnya.

Upaya yang seharusnya paling maksimal dan efektif dilakukan oleh pemerintah, khususnya Intelijen (BIN), Polisi, BNPT, dan TNI adalah menghilangkan elemen kapabiltas terorisme. Hal ini dapat diibaratkan dengan pengebirian para pemerkosa. Ketika kemampuan atau kapabilitas melakukan aksi teror dapat dihilangkan atau ditekan diminimalkan sedemikan rupa, maka niscaya jumlah aksi teror akan menurun tajam. Memang upaya ini memerlukan dukungan personil aparat yang profesional, serta dana yang tidak sedikit dan juga strategi dan langkah-langkah yang efektif tanpa memancing terjadinya simpatik yang berlebihan terhadap kelompok teroris. Sekali yang masyarakat perlu ingat adalah bahwa kejahatan teror pada dasarnya sama dengan kejatan kriminal lainnya, namun dalam level yang berbeda dapat berdampak lebih besar karena efek rasa takut, berita, serta sifat dasarnya yang tidak pandang bulu terhadap korban, apakah kaya miskin, muslim non muslim, pria wanita, anak-anak atau orang tua, semua dapat menjadi korban teror. Itulah sebabnya kejahatan terorisme masuk dalam kategori luar biasa. Blog I-I tidak perlu menggurui satuan-satuan khusus seperti Densus 88, Den 81 Gultor Kopassus, Satgas Konter Teroris BIN, BNPT, dan aparat keamanan dan penegak hukum tentang strategi dan langkah-langkah yang efektif menghilangkan ancaman teror di Indonesia.

Ketika Perancis mengalami serangan teror, tampak gelar pasukan Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) atau sering dikenal sebagai Gendarimerie langsung ikut diturunkan membantu Polisi Perancis, demikian juga Inggris paska serangan di Westminster dan Manchester Arena telah menerjunkan tentara di sejumlah titik rawan khususnya di instalasi penting (Operation Temperer). Nilai-nilai demokrasi telah membatasi peranan tentara dalam ikut mendukung upaya konter terorisme di berbagai negara demokrasi karena tentara dianggap bukan bagian dari penegakkan hukum dan adanya ketakutan militarisme yang kebablasan. Namun kelompok masyarakat yang melakukan aksi teror dapat menjadi besar kepala dan merasa "sukses" karena mereka juga menggunakan hak-hak sipil mereka untuk melindungi aktifitas penyebaran ajaran radikal dan cuci tangan terhadap nasib para pelaku teror yang tertangkap atau pura-pura tidak tahu. Demokrasi yang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran terorisme dan hal ini telah berlangsung lama, sampai akhirnya di sejumlah negara muncul larangan penyebaran kebencian dan hasutan kekerasan. Lebih baik terlambat daripada tidak ada pencegahan lebih lanjut. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apabila operasi Tinombala di Poso dengan target kelompok Santoso diserahkan kepada TNI, sudah selesai sejak lama. Namun pendekatan TNI tentunya dengan perang dan bukan penangkapan hidup-hidup dan hal ini menjadi dilemma dalam aturan hukum nasional Indonesia. Semoga pembahasan revisi UU Anti Terorisme segera dapat memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan kuat dalam melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman terorisme.

Apakah para teroris pernah berpikir bahwa misalnya Bom Kampung Melayu yang telah mengakibatkan gugurnya tiga orang Polisi sama sekali tidak mempengaruhi kekuatan aparat keamanan Indonesia? Bahkan justru semakin meyakinkan mayoritas umat Islam Indonesia bahwa aksi terorisme adalah perbuatan yang sesat dan jahat. Apakah para teroris pernah berpikir bahwa aksi teror yang dilakukan di Indonesia justru merusak dan kontraproduktif terhadap cita-cita mereka sendiri untuk mendirikan negara Islam dan menegakkan Syari'ah Islam? Terjadi kontradiksi antara perbuatan dan tujuan yang akan dicapai. Kemudian apakah para teroris juga pernah berpikir tentang hakikat kehidupan di dunia dan tujuan kehidupan di akhirat yang dipersyaratkan dari perbuatan-perbuatan di dunia? Mati syahid sungguh adalah mulia, namun sebuah kemuliaan tidak akan lahir dari perbuatan tercela seperti bunuh diri dan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam perang dan bahkan tidak memerangi. Mati syahid tidak akan lahir dari perbuatan pengecut secara diam-diam melakukan pendadakan membunuhi orang yang bahkan tidak tahu mengapa harus terbunuh dalam aksi teror. Bahkan dalam konteks Indonesia, korban aksi teror terbanyak adalah sesama Muslim yang juga menyembah Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Semoga artikel ini dapat menjadi bahan kajian kita bersama, baik masyarakat umum maupun aparat keamanan dan pemerintah dalam menempuh kebijakan keamanan yang efektif.

Salam Intelijen
Dharma Bhakti

Selasa, 23 Mei 2017

Antara Manchester Arena dan Kampung Melayu: Bahaya Radikalisme dan Terorisme

Senin 22 Mei 2017 serangan bom bunuh diri terjadi di Manchester Arena tempat dimana Ariana Grande beraksi dalam konser musiknya. Korban tewas mencapai 22 orang dan sekitar 120 orang luka-luka, tidak lama kemudian polisi Inggris melakukan serangkaian penangkapan terhadap orang-orang yang diduga tahu atau merupakan bagian dari jaringan teroris (baca: Manchester Evening News). Rabu 24 Mei 2017 serangan bom bunuh terjadi di kawasan terminal Kampung Melayu yang menewaskan 5 orang yakni 3 orang polisi dan 2 orang terduga pelaku bom bunuh diri serta belasan orang luka-luka (baca: BBC Indonesia).

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari dua peristiwa yang berjauhan lokasinya namun berdekatan waktu serangannya serta kesamaan modus bom bunuh diri tersebut?


Terulangnya serangan teror bom bunuh diri dari waktu ke waktu merupakan cerminan bahaya serangan teror tetap mengintai kita semua meskipun aparat keamanan khususnya Polisi dan Intelijen telah bekerja keras melakukan upaya pencegahan dan pengungkapan jaringan teroris. Inggris sebagai negara maju dengan berbagai kemampuan counter terornya yang tinggi harus mengakui bahwa serangan sederhana baik dari jaringan teroris maupun yang sifatnya sendirian (lone wolf) telah berulang kali terjadi. Indonesia sebagai negara yang menuju menjadi negara besar dan maju juga mengalami serangan teror yang berulang kali. Kesimpulan pertama adalah bahwa teror bom bunuh diri dapat terjadi di manapun. Mencermati perkembangan situasi konflik di wilayah Timur Tengah, maka ancaman teror akan terus mengintai tanpa kenal lelah mejerumuskan generasi muda Muslim yang kurang ilmu agama atau tidak stabil secara mental untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Logika perjuangan "dunia Islam" yang dipersonifikasikan ke dalam aksi individu-individu yang melakukan serangan bom bunuh diri bukan saja menyesatkan para pelakunya, melainkan juga membingungkan masyarakat karena polanya yang tidak ajeg. Ketika serangan menimpa aparat keamanan seperti petugas Polisi atau simbol-simbol aparat keamanan lainnya, mungkin saja motifnya "balas dendam". Namun ketika serangan menimpa masyarakat biasa yang kebetulan berada di keramaian, maka motifnya menjadi kurang jelas apakah semata-mata membawa mimpi buruk kepada masyarakat yang ditargetnya ataukah karena ketidakberdayaan menghadapi aparat keamanan.

Blog I-I tidak bosan-bosannya mengingatkan ancaman serangan teror yang masih akan terus mengintai Indonesia selama konflik di Timur Tengah terus berlangsung baik di Suriah, Irak, Libya, Yaman, maupun di wilayah lainnya. Disadari ataupun tidak, konflik-konflik berdarah tersebut membawa dampak penderitaan yang dalam karena terlalu banyaknya kematian. Semakin lama konflik berjalan, maka semakin lama pula dampak penderitaan tersebut. Mereka yang langsung merasakan dampak dari konflik berdarah memiliki alasan dalam meradikalisasi dirinya agar kuat militan dalam berjuang di wilayah konflik. Namun mereka yang bersimpati juga dapat terjangkiti emosi kemarahan, kebencian, dan perasaan paling benar bila terseret ke dalam pusaran konflik berdarah. Misalnya saja mereka yang ikut bergabung dengan kelompok-kelompok yang berkonflik di Timur Tengah, sebut saja misalnya ISIS dan organisasi yang berafiliasi kepadanya. Dari simpati, lama kelamaan menjadi keyakinan dan ketika menyaksikan dunia yang terus berputar tanpa peduli kepada ISIS, maka lahir apa yang disebut sebagai penolakan terhadap realita kehidupan. Hal itulah yang memudahkan langkah untuk mengakhiri kehidupan dengan bom bunuh diri.

Hanya orang-orang yang lemah dan sedikit ilmunya yang melakukan aksi bom bunuh diri. Sementara para pemimpin gerakan teroris atau yang melakukan rekrutmen dalam rangka radikalisasi sangat jarang mau melakukan aksi bom bunuh diri dengan alasan mereka diperlukan untuk gerakan. Kesimpulan kedua adalah bahwa baik di Inggris maupun di Indonesia sumber daya manusia yang berjiwa lemah dan sedikit berilmu agama sangat banyak sehingga kemungkinan serangan bom bunuh diri tidak akan mereda dari waktu ke waktu. Mati satu tumbuh seribu karena sumber daya manusianya akan ada terus. Apakah mereka tidak terdeteksi oleh intelijen? Andaipun terdeteksi, sangat sulit dalam memastikan apakah suatu serangan akan terjadi, kapan dan dimana.

Bagaimana mengatasinya? Setidaknya ada dua cara yang secara simultan harus terus berlangsung dari waktu ke waktu. Yakni dari sisi sumber daya manusiannya perlu diputus atau dihilangkan kemungkinan masih tersedianya pemuda/i yang mudah tertipu sehingga rela ikhlas melakukan aksi bom bunuh diri. Kedua dari sisi operasi intelijen dan penegakkan hukum, sudah waktunya Indonesia mengembangkan operasi yang lebih masif dan berkelanjutan. Negara demokrasi seperti Indonesia dan Inggris memang selalu dibayangi oleh prinsip-prinsip demokrasi yang kadangkala justru dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan para teroris untuk ikut berlindung dibalik Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, khusus dalam konteks Indonesia, perlu diakui bahwa Islam adalah salah satu pilar besar dalam kehidupan berbangsa dan benegara. Hal ini memerlukan leadership yang kuat dari Pemerintah dalam mendorong umat Islam Indonesia menjadi umat yang moderat (bukan munafik). Tantangan ini tidak akan pernah berakhir selama konflik di Timur Tengah berlangsung, karena mereka yang masuk dalam jaringan teror maupun yang meradikalisasi dirinya sendiri dapat dipastikan berkiblat kepada dinamika keamanan, sosial dan politik di Timur Tengah.

Baik bom Manchester maupun bom Kampung Melayu merupakan teror kemanusiaan yang tidak cukup direspon dengan kampanye melawan terorisme atau menyatakan kita kuat. Apa yang dilakukan aparat keamanan Inggris maupun Indonesia dengan serangkaian penangkapan adalah pelaksanaan tugas secara profesional. Namun hal itu sifatnya terbatas pada kasus yang sedang diselidiki. Bagaimana dengan potensi dan ancaman lainnya? Itulah sebabnya diperlukan kerjasama erat dengan masyarakat luas dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap kelompok atau jaringan radikal dan teroris yang bersembunyi di tengah-tengah masyarakat.

Sekian, semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Dharma Bhakti